KANONISASI PERJANJIAN BARU
Pengembangan
kanon Perjanjian Baru dimulai dengan tulisan-tulisan para rasul. Harus
kita ingat penulisan kitab Injil berkaitan langsung dengan tindakan-tindakan
untuk dalam sejarah penebusan.
Perjanjian Lama mencatat dan menafsirkan bagi kita pemanggilan Abraham dan kehidupan keturunannya, yang eksodus dari Mesir dan pengembaraan padang gurun, pembentukan umat Allah di tanah Kanaan, pembentukan pemerintahan monarki, dan mengalami masa pembuangan di Babel (Exile) dan kembali. Masing-masing tindakan besar Allah dalam sejarah disampaikan dengan kata-kata Allah sendiri dalam Alkitab. Perjanjian Lama ditutup dengan harapan akan kedatangan Mesias(Mal 3: 1-4; 4:. 1-6).Tahap berikutnya dalam sejarah penebusan adalah kedatangan Mesias, dan tidak mengherankan bahwa tidak ada kelanjutan penulisan Kitab Suci sampai even berikutnya dan terbesar dalam sejarah penebusan terjadi.
Inilah sebabnya mengapa Perjanjian Baru terdiri dari tulisan-tulisan para rasul.
Hal ini terutama para rasul yang diberikan kemampuan dari Roh Kudus untuk mengingat secara akurat kata-kata dan perbuatan Yesus dan menafsirkannya dengan benar untuk generasi selanjutnya.
Yesus berjanji memberdayakan ini kepada murid-murid-Nya (yang dipanggil rasul setelah kebangkitan) dalam Yohanes 14:26: “tetapi Penghibur, yaitu Roh Kudus, yang akan diutus oleh Bapa dalam nama-Ku, Dialah yang akan mengajarkan segala sesuatu kepadamu dan akan mengingatkan kamu akan semua yang telah Kukatakan kepadamu.”
Demikian pula, Yesus berjanji pewahyuan lebih lanjut akan kebenaran dari Roh Kudus ketika ia mengatakan kepada murid-muridnya, " Tetapi apabila Ia datang, yaitu Roh Kebenaran, Ia akan memimpin kamu ke dalam seluruh kebenaran; sebab Ia tidak akan berkata-kata dari diri-Nya sendiri, tetapi segala sesuatu yang didengar-Nya itulah yang akan dikatakan-Nya dan Ia akan memberitakan kepadamu hal-hal yang akan datang.”
Tetapi apabila Ia datang, yaitu Roh Kebenaran, Ia akan memimpin kamu ke dalam seluruh kebenaran; sebab Ia tidak akan berkata-kata dari diri-Nya sendiri, tetapi segala sesuatu yang didengar-Nya itulah yang akan dikatakan-Nya dan Ia akan memberitakan kepadamu hal-hal yang akan datang. Ia akan memuliakan Aku, sebab Ia akan memberitakan kepadamu apa yang diterimanya dari pada-Ku. "
(Yohanes 16: 13-14).
Para rasul di zaman gereja mula-mula memiliki otoritas yang sama dengan para nabi Perjanjian Lama, otoritas untuk berbicara dan menulis kata-kata yang langsung merupakan kata-kata Allah.
Klaim ini untuk dapat mengucapkan kata-kata yang adalah kata-kata Allah sendiri terutama sering dalam tulisan-tulisan rasul Paulus. Dia mengklaim tidak hanya bahwa Roh Kudus telah mengungkapkan kepadanya Apa yang tidak pernah dilihat oleh mata, dan tidak pernah didengar oleh telinga, dan yang tidak pernah timbul di dalam hati manusia"(1 Kor 2: 9)., tetapi juga bahwa ketika ia menyatakan wahyu ini, ia berbicara
itu adalah "perkataan yang bukan diajarkan kepada kami oleh hikmat manusia, tetapi oleh Roh, menafsirkan hal-hal rohani dengan kata rohani "(1 Kor. 02:13, terjemahan penulis)
Para rasul, dengan demikian, memiliki kewenangan untuk menulis kata-kata yang kata-kata Allah sendiri, sama dalam status kebenaran dan wewenang kepada kata-kata dari Kitab Suci Perjanjian Lama. Mereka melakukan ini untuk mencatat, menafsirkan, dan berlaku untuk kehidupan orang percaya kebenaran besar tentang kehidupan, kematian, dan kebangkitan Kristus.
Bahkan, ini adalah apa yang kita temukan dalam setidaknya dua contoh. Dalam 2 Petrus 3:16, Peter menunjukkan surat-surat dari rasul Paulus, dan juga jelas kesediaan untuk mengklasifikasikan "semua surat-surat Paulus” dengan "kitab suci lainnya".
Petrus mengatakan:
…… Paulus, saudara kita yang kekasih, telah menulis kepadamu menurut hikmat yang dikaruniakan kepadanya. Hal itu dibuatnya dalam semua suratnya, apabila ia berbicara tentang perkara-perkara ini. Dalam surat-suratnya itu ada hal-hal yang sukar difahami, sehingga orang-orang yang tidak memahaminya dan yang tidak teguh imannya, memutarbalikkannya menjadi kebinasaan mereka sendiri, sama seperti yang juga mereka buat dengan tulisan-tulisan yang lain ~ other scriptures (2 Petrus 3: 15-16).
Kata yang diterjemahkan "kitab suci" (scripture) di sini adalah
γραφή (G1210) kata yang terjadi lima puluh satu kali dalam Perjanjian Baru dan bahwa mengacu pada Kitab Suci Perjanjian Lama di setiap salah satu kejadian. Dengan demikian, kata “Alkitab” adalah istilah teknis untuk para penulis Perjanjian Baru, dan itu digunakan
hanya dari tulisan-tulisan yang dianggap firman Allah dan oleh karena itu bagian dari kanon Kitab Suci. Tapi dalam ayat ini, Peter mengklasifikasikan tulisan Paulus dengan "kitab suci lainnya”.
Kitab Suci "(yang berarti Kitab Suci Perjanjian Lama). Oleh karena itu tulisan-tulisan Paulus adalah dianggap oleh Peter juga menjadi layak judul "Kitab Suci" dan dengan demikian layak dimasukkan (inklusi) dalam kanon.
1Ti 5:18 Bukankah Kitab Suci berkata: "Janganlah engkau memberangus mulut lembu yang sedang mengirik," dan lagi "seorang pekerja patut mendapat upahnya."
Kutipan pertama dari "Kitab Suci" ditemukan dalam Ulangan 25:4, tapi kutipan kedua, " seorang pekerja patut mendapat upahnya," yang ditemukan di tempat dalam Perjanjian Lama. Hal itu terjadi,
Namun, dalam Lukas 10: 7 (dengan tepat kata-kata yang sama dalam teks Yunani).
Jadi di sini tampak bagi kita Paulus tampaknya telah mengutip sebagian dari gospel Lukas dan menyebutnya "Kitab Suci," yaitu, sesuatu yang harus dianggap sebagai bagian dari canon.
Dalam kedua hal ini ayat-ayat (2 Petrus 3:16 dan 1 Tim 5:. 17-18) kita melihat bukti bahwa sangat awal dalam sejarah gereja tulisan-tulisan Perjanjian Baru mulai diterima sebagai bagian dari kanon.
Karena rasul, berdasarkan jabatan kerasulan mereka, memiliki wewenang untuk menulis kata-kata Kitab Suci, ajaran tertulis otentik para rasul diterima oleh gereja awal (gereja mula-mula) sebagai bagian dari kanon Kitab Suci. Jika kita menerima argumen untuk pandangan tradisional kepenulisan dari tulisan-tulisan Perjanjian Baru, maka kita memiliki sebagian Perjanjian Baru dalam kanon karena kepenulisan langsung oleh para rasul. Mencakup Matius; John; Roma sampai Filemon (semua surat-surat Paulus); Yakobus (James); 1 dan 2 Petrus; 1, 2, dan 3 Yohanes; dan Wahyu.
Hal ini menyisakan lima buku: Markus, Lukas, Kisah Para Rasul, Ibrani, dan Jude, yang tidak ditulis oleh rasul.
Rincian dari proses sejarah dimana buku-buku ini datang dihitung sebagai bagian dari Kitab Suci yang langka oleh Gereja awal, namun Markus, Lukas, dan Kisah yang umumnya diakui sangat awal, mungkin karena kedekatan antara Markus dengan Rasul Petrus sebagai rekan, dan Lukas (penulis Lukas-Kisah Para Rasul)dengan rasul Paulus. Demikian pula, Yudas (Jude) ternyata diterima berdasarkan dari koneksi penulis dengan Yakobus (James - lihat Yudas 1) dan fakta bahwa ia adalah saudara dari Yesus.
Penerimaan kitab Ibrani sebagai kanonik didesak oleh banyak orang di gereja atas dasar asumsi kepenulisan Paulus. Tapi dari awal kali ada orang lain yang menolak kepenulisan Paulus, yang satu mendukung, atau yang lain memberikan saran yang berbeda. Origen, yang meninggal sekitar tahun 254, menyebutkan berbagai teori kepenulisan
dan menyimpulkan, "Tapi yang benar-benar menulis surat ini, hanya Tuhan yang tahu."
Dengan demikian, penerimaan kitab Ibrani sebagai kanonik tidak sepenuhnya karena ada kepercayaan ditulis dari surat-surat rasul Paulus. Sebaliknya, kualitas intrinsik buku itu sendiri pada akhirnya
Meyakinkan para pembaca awal, bahwa siapa pun yang
menulis, penulis utamanya adalah Allah sendiri.
Kemuliaan Yesus Kristus memancar dari halaman-halaman surat Ibrani,
begitu terang sehingga tidak ada satu pun orang percaya yang membacanya dengan serius meragukannya untuk menempatkan surat Ibrani dalam kanon.
otomatis diterima sebagai bagian dari kanon ajaran tertulis dari para rasul yang para rasul inginkan dipertahankan sebagai Kitab Suci.
Namun keberadaan beberapa tulisan Perjanjian Baru yang tidak ditulis langsung
oleh rasul menunjukkan bahwa ada orang lain di gereja mula-mula kepada siapa Kristus juga memberi
kemampuan, melalui karya Roh Kudus, untuk menulis kata-kata yang Allah sendiri
kata-kata dan juga karena dimaksudkan untuk menjadi bagian dari kanon. Dalam kasus ini, Gereja awal memiliki tugas mengenali yang tulisannya memiliki karakteristik yang kata-kata Allah sendiri (melalui penulis manusia).
Untuk beberapa buku (setidaknya Markus, Lukas, dan Kisah Para Rasul, dan mungkin Ibrani dan Yudas), gereja memiliki, setidaknya di beberapa daerah, kesaksian pribadi beberapa rasul untuk menegaskan otoritas ilahi mutlak dari penulisan buku-buku ini. Sebagai contoh, Paul
akan menegaskan keaslian Lukas dan Kisah Para Rasul, dan Peter akan
menegaskan keaslian Markus sebagai mengandung ajaran yang dia sendiri khotbahkan.
Dalam kasus lain, dan di beberapa daerah geografis, gereja hanya harus memutuskan apakah, karena mendengar suara Allah sendiri yang berbicara di dalam kata-kata tulisan-tulisan ini. Pada kasus ini, kata-kata buku-buku ini akan membuktikan dirinya; itu adalah kata-kata yang mengandung kesaksian, kepenulisan ilahi mereka sendiri ketika orang Kristen membacanya. Ini tampaknya apa yang telah terjadi dengan kitab Ibrani.
Seharusnya tidak mengejutkan kita bahwa gereja mula-mula seharusnya mampu mengenali Ibrani dan tulisan-tulisan lainnya, tidak ditulis oleh rasul, sebagai kata-kata Tuhan. Bukankah Yesus berkata "domba-Ku mendengarkan suara-Ku" (Yohanes 10:27)? Ini tidak boleh dianggap mustahil atau tidak mungkin, karena itu, bahwa gereja mula-mula akan dapat menggunakan faktor kombinasi, termasuk dukungan apostolik, konsistensi dengan seluruh Kitab Suci, dan persepsi dari menulis sebagai "diilhamkan Allah" pada bagian dari Mayoritas orang-orang percaya, untuk memutuskan bahwa sebuah tulisan itu dalam kata-kata Allah sebenarnya (Melalui penulis manusia) dan karena itu layak dimasukkan dalam kanon.
fact “God-breathed” and without including any that were not.
Proses ini selama periode waktu – tulisan-tulisan itu diedarkan ke berbagai bagian dari gereja awal – sehingga akhirnya dibuat sebuah keputusan sepenuhnya benar. Dianggap tidak mungkin setelah proses ini gereja akan tidak memasukkan tulisan-tulisan yang "diilhamkan Allah" dan tidak membuang apa yang tidak “diilhamkan Allah”.
Pada tahun AD 367 Surat Pascal yang ke Tiga puluh sembilan dari Athanasius terkandung daftar yang tepat 27 buku Perjanjian Baru yang kita miliki sekarang. Ini adalah daftar buku yang diterima oleh gereja-gereja di bagian timur dari dunia Mediterania. Tiga puluh tahun
kemudian, di AD 397, Konsili Carthage, yang mewakili gereja-gereja di Barat bagian dari dunia Mediterania, setuju dengan gereja-gereja timur mengenai daftar yang sama.
Ini adalah daftar final yang pertama dari canon yang terkini.
Haruskah kita mengharapkan lagi tulisan yang akan ditambahkan ke canon? Pembukaan kalimat dalam Ibrani menempatkan pertanyaan ini dalam perspektif historis yang tepat, perspektif sejarah penebusan: "Setelah pada zaman dahulu Allah berulang kali dan dalam pelbagai cara berbicara kepada nenek moyang kita dengan perantaraan nabi-nabi, maka pada zaman akhir ini Ia telah berbicara kepada kita dengan perantaraan Anak-Nya, yang telah Ia tetapkan sebagai yang berhak menerima segala yang ada. Oleh Dia Allah telah menjadikan alam semesta. "
(Ibr 1: 1-2)
Kontras antara berbicara kepada "leluhur" oleh para nabi dan baru-baru ini berbicara "pada hari-hari terakhir" menunjukkan bahwa pidato Allah kepada kita oleh Anak-Nya adalah puncak dari Tuhan berbicara kepada umat manusia dan itu adalah wahyu yang terbesar dan terakhir kepada
umat manusia dalam periode sejarah penebusan.
Kehebatan luar biasa dari pewahyuan yang datang melalui Anak, jauh melebihi pewahyuan dalam Perjanjian Lama, ditekankan lagi dan lagi pada seluruh pasal 1 dan 2 dari kitab Ibrani.
Fakta-fakta ini semua menunjukkan bahwa ada finalitas untuk wahyu Allah di dalam Kristus dan bahwa setelah wahyu ini telah selesai, tidak ada lagi perobahan yang diharapkan.
Tapi di mana kita belajar tentang wahyu ini melalui Kristus? Tulisan-tulisan Perjanjian Baru berisi interpretasi akhir, berwibawa, dan cukup mengenai karya penebusan Kristus. Para rasul dan sahabat dekat mereka melaporkan kata-kata Kristus dan perbuatan dan menafsirkannya dengan otoritas ilahi yang mutlak. Ketika tulisan-tulisan mereka telah selesai, tidak ada lagi yang akan ditambahkan dengan otoritas ilahi yang mutlak sama.
Jadi, sekali tulisan-tulisan Perjanjian Baru oleh para rasul dan rekan mereka yang berwenang selesai, kita memiliki catatan final dalam bentuk tertulis dari segala sesuatu yang Allah ingin kita tahu tentang kehidupan, kematian, dan kebangkitan Kristus, dan artinya untuk kehidupan orang percaya untuk selamanya.
Karena ini adalah wahyu Allah yang terbesar bagi umat manusia, tidak ada lagi perobahan yang diharapkan setelah ini selesai. Dengan cara ini, maka, Ibrani 1: 1-2 menunjukkan mengapa tidak lagi tulisan dapat ditambahkan ke Alkitab setelah masa Perjanjian Baru. Kanon sekarang ditutup.
Sebuah pertimbangan serupa dapat diambil dari Wahyu 22: 18-19:
Acuan utama dari ayat-ayat ini jelas dari kitab Wahyu itu sendiri,
Yohanes mengacu pada tulisannya sebagai "kata-kata nubuat dalam buku ini" dalam ayat 7 dan 10 pada bab ini (dan seluruh buku disebut nubuatan dalam Wahyu 1: 3). Selanjutnya, referensi untuk "pohon kehidupan dan ... kota kudus, seperti yang dijelaskan
dalam buku ini "menunjukkan bahwa benar kitab Wahyu itu sendiri yang dimaksudkan.
Hal ini, bagaimanapun, bukan disengaja bahwa pernyataan ini datang pada bagian terakhir kitab Wahyu, dan Wahyu juga yang merupakan kitab terakhir dalam Perjanjian Baru. Bahkan, Wahyu harus ditempatkan terakhir dalam kanon. Bagi banyak buku, penempatan mereka pada proses konstruksi kanon adalah konsekuensi kecil. Tapi sama seperti Genesis harus ditempatkan pertama (untuk memberitahu kita mengenai penciptaan), sehingga Wahyu harus ditempatkan terakhir (untuk fokus pada kita tentang masa depan dan ciptaan baru Allah).
Peristiwa-peristiwa yang dijelaskan dalam Wahyu secara historis adalah kelanjutan dari peristiwa-peristiwa lain yang dijelaskan dalam seluruh Perjanjian Baru dan menentukan kitab Wahyu yang ditempatkan di mana. Oleh karena itu, tidak pantas bagi kita untuk memahami pesan dan peringatan yang sangat kuat ini pada akhir Wahyu diterapkan secara sekunder untuk seluruh Kitab Suci. Ditempatkan di sini, di mana ia harus ditempatkan, peringatan membentuk kesimpulan yang tepat untuk seluruh kanon Kitab Suci.
Bersama Ibrani 1: 1-2 dan perspektif sejarah-penebusan tersirat dalam ayat-ayat, yang memperluas aplikasi dari Wahyu 22: 18-19 menunjukkan kepada kita bahwa kita tidak lagi harus mengharapkan
tambahan Alkitab di luar apa yang sudah kita miliki.
Bagaimana kita tahu, kemudian, bahwa kita memiliki buku tepat di kanon Alkitab yang sekarang kita miliki? pertanyaan dapat dijawab dalam dua cara yang berbeda.
Pertama, jika kita bertanya pada apa yang harus kita percaya, jawabannya harus akhirnya bahwa keyakinan kami didasarkan pada kesetiaan Allah. Kita tahu bahwa Allah mengasihi umat-Nya, dan itu amat penting bahwa umat Allah memiliki kata-kata sendiri, karena mereka
adalah hidup kita (Ul 32:47; Mat 4:4).
Deu 32:47 Sebab perkataan ini bukanlah perkataan hampa bagimu, tetapi itulah hidupmu, dan dengan perkataan ini akan lanjut umurmu di tanah, ke mana kamu pergi, menyeberangi sungai Yordan untuk mendudukinya."
Mat 4:4 Tetapi Yesus menjawab: "Ada tertulis: Manusia hidup bukan dari roti saja, tetapi dari setiap firman yang keluar dari mulut Allah."
Firman lebih berharga, lebih penting bagi kita dari apa pun di dunia ini. Kita juga tahu bahwa Allah Bapa kita yang mengontrol semua
sejarah, dan dia bukan jenis Bapa yang akan menipu kita atau gagal untuk setia kepada kita untuk menjaga dari kita sesuatu yang kita benar-benar butuhkan.
Beratnya hukuman dalam Wahyu 22: 18-19 akan menimpa mereka yang
menambah atau mengurangi kata-kata Allah, juga menegaskan pentingnya bagi umat Allah untuk memiliki kanon yang benar. Tidak ada hukuman yang lebih besar dari ini, karena hukumannya adalah hukuman kekal. Hal ini menunjukkan bahwa Allah sendiri menempatkan nilai tertinggi
akan koleksi yang benar, akan tulisan diilhamkan Allah, yang akurat, tidak lebih dan tidak kurang.
Atas fakta yang terang ini, mungkinkah tepat bagi kita untuk percaya bahwa Allah Bapa kita,yang mengontrol semua sejarah, akan mengizinkan semua gereja selama hampir dua ribu tahun kekurangan sesuatu yang Ia sendiri hargai begitu tinggi dan sangat diperlukan untuk kehidupan spiritual kita?
The
next stage in redemptive history is the coming of the Messiah, and it is not
surprising that no further Scripture would be written until this next and
greatest event in the history of redemption occurred.
This
is why the New Testament consists of the writings of the apostles.19
It is
primarily the apostles who are given the ability from the Holy Spirit to recall
accurately
the words and deeds of Jesus and to interpret them rightly for subsequent
generations.
Jesus
promised this empowering to his disciples (who were called apostles after
the
resurrection) in John 14:26: “But the Counselor, the Holy Spirit, whom the
Father
will
send in my name, he will teach you all things, and bring to your remembrance
all
that
I have said to you.”
Similarly,
Jesus promised further revelation of truth from the
Holy
Spirit when he told his disciples, “When the Spirit of truth comes, he will
guide
you
into all the truth; for he will not speak on his own authority, but whatever he
hears
he will speak, and he will declare to you the things that are to come.
He
will glorify me, for he will take what is mine and declare it to you” (John
16:13–14).
Salah
satu tanda kebenaran itu adalah:
Jadi
ini adalah kemampuan yang luarbiasa yang memampukan mereka menulis kitab suci:
adalah karena Roh Kudus yang memampukan mereka, mengajarkan “segala hal”, yang
menyebabkan mereka bisa mengingat “semua” (segala kesaksian: apa yang telah
mereka dengar, lihat, raba, ….etc.) yang
telah Yesus katakan, dan akan memimpin mereka kepada “seluruh
kebenaran”.
Scripture:
the Holy Spirit would teach them “all things,” would cause them to
remember
“all” that Jesus had said, and would guide them into “all the truth.”
Furthermore,
those who have the office of apostle in the early church are seen to
claim
an authority equal to that of the Old Testament prophets, an authority to speak
and
write words that are God’s very words. Peter encourages his readers to remember
“the
commandment of the Lord and Savior through your apostles” (2 Peter 3:2). To
lying
to God (Acts 5:4).
Ini
juga terlihat dari sikap para jemaat gereja mula-mula:
Mereka bertekun dalam pengajaran rasul-rasul dan dalam
persekutuan….(Acts 2:42)
This
claim to be able to speak words that were the words of God himself is
especially
frequent in the writings of the apostle Paul. He claims not only that the
Holy
Spirit has revealed to him “what no eye has seen, nor ear heard, nor the heart
of
man
conceived” (1 Cor. 2:9), but also that when he declares this revelation, he
speaks
it
“in words not taught by human wisdom but taught by the Spirit, interpreting
Spiritual
things in Spiritual words” (1 Cor. 2:13, author’s translation).20
Similarly,
Paul tells the Corinthians, “If any one thinks that he is a prophet, or
spiritual,
he should acknowledge that what I am writing to you is a command of the
Lord”
(1 Cor. 14:37). The word translated “what” in this verse is a plural relative
pronoun
in Greek (ἅ) and more literally could be
translated “the things that I am
writing
to you.” Thus, Paul claims that his directives to the church at Corinth are not
merely
his own but a command of the Lord. Later, in defending his apostolic office,
Paul
says that he will give the Corinthians “proof that Christ is speaking in me” (2
Cor.
13:3). Other similar verses could be mentioned (for example, Rom. 2:16; Gal.
1:8–9;
1 Thess. 2:13; 4:8, 15; 5:27; 2 Thess. 3:6, 14).
The
apostles, then, have authority to write words that are God’s own words, equal
in
truth status and authority to the words of the Old Testament Scriptures. They
do
this
to record, interpret, and apply to the lives of believers the great truths
about the
life, death, and resurrection of Christ.
It
would not be surprising therefore to find some of the New Testament writings
being
placed with the Old Testament Scriptures as part of the canon of Scripture. In
fact,
this is what we find in at least two instances. In 2 Peter 3:16, Peter shows
not
only
an awareness of the existence of written epistles from Paul, but also a clear
willingness
to classify “all of his [Paul’s] epistles” with “the other scriptures”: Peter
says,
“So also our beloved brother Paul wrote to you according to the wisdom given
him,
speaking of this as he does in all his letters. There are some things in them
hard
to
understand, which the ignorant and unstable twist to their own destruction, as
they
do
the other scriptures” (2 Peter 3:15–16). The word translated
“scriptures” here is
γραφή (G1210) a word that occurs fifty-one times in
the New Testament and that
refers
to the Old Testament Scriptures in every one of those occurrences. Thus, the
word Scripture
was a technical term for the New Testament authors, and it was used
only
of those writings that were thought to be God’s words and therefore part of the
canon
of Scripture. But in this verse, Peter classifies Paul’s writings with the
“other
Scriptures”
(meaning the Old Testament Scriptures). Paul’s writings are therefore
considered
by Peter also to be worthy of the title “Scripture” and thus worthy of
inclusion
in the canon.
A
second instance is found in 1 Timothy 5:17–18. Paul says, “Let the elders who
rule
well be considered worthy of double honor, especially those who labor in
preaching
and teaching; for the scripture says, “You shall not
muzzle an ox when it is
treading
out the grain,’ and, “The laborer deserves his wages.”’ The first quotation
from
“Scripture” is found in Deuteronomy 25:4, but the second quotation, “The
laborer deserves his wages,” is found nowhere in the Old Testament. It does
occur,
however,
in Luke 10:7 (with exactly the same words in the Greek text). So here we
have
Paul apparently quoting a portion of Luke’s gospel21
and calling it “Scripture,”
that
is, something that is to be considered part of the canon. In both of these
passages
(2 Peter 3:16 and 1 Tim. 5:17–18) we see evidence that very early in the
history
of the church the writings of the New Testament began to be accepted as part
of
the canon.
Because
the apostles, by virtue of their apostolic office, had authority to write
words
of Scripture, the authentic written teachings of the apostles were accepted by
the
early church as part of the canon of Scripture. If we accept the arguments for
the
traditional
views of authorship of the New Testament writings,23
then we have most of
the
New Testament in the canon because of direct authorship by the apostles. This
would
include Matthew; John; Romans to Philemon (all of the Pauline epistles);
James;24 1 and 2 Peter; 1, 2, and 3 John; and
Revelation.
This
leaves five books, Mark, Luke, Acts, Hebrews, and Jude, which were not
written
by apostles. The details of the historical process by which these books came to
be
counted as part of Scripture by the early church are scarce, but Mark, Luke,
and
Acts
were commonly acknowledged very early, probably because of the close
association
of Mark with the apostle Peter, and of Luke (the author of Luke-Acts)
with
the apostle Paul. Similarly, Jude apparently was accepted by virtue of the
author’s
connection with James (see Jude 1) and the fact that he was the brother of
Jesus.25
The
acceptance of Hebrews as canonical was urged by many in the church on the
basis
of an assumed Pauline authorship. But from very early times there were others
who
rejected Pauline authorship in favor of one or another of several different
suggestions.
Origen, who died about A.D. 254, mentions various theories of authorship
and
concludes, “But who actually wrote the epistle, only God knows.”26 Thus, the
acceptance
of Hebrews as canonical was not entirely due to a belief in Pauline
authorship.
Rather, the intrinsic qualities of the book itself must have finally
convinced
early readers, as they continue to convince believers today, that whoever its
human author may have been, its ultimate author can only
have been God himself.
The
majestic glory of Christ shines forth from the pages of the epistle to the
Hebrews
so
brightly that no believer who reads it seriously should ever want to question
its
place
in the canon.
This
brings us to the heart of the question of canonicity. For a book to belong in
the
canon, it is absolutely necessary that the book have divine authorship. If the
words
of
the book are God’s words (through human authors), and if the early church,
under
the
direction of the apostles, preserved the book as part of Scripture, then the
book
belongs
in the canon.
But
if the words of the book are not God’s words, it does not belong in the canon.
The question of authorship by an apostle is important because it
was
primarily the apostles to whom Christ gave the ability to write words with
absolute
divine authority. If a writing can be shown to be by an apostle, then its
absolute
divine authority is automatically established.27 Thus,
the early church
automatically
accepted as part of the canon the written teachings of the apostles which
the
apostles wanted preserved as Scripture.
But
the existence of some New Testament writings that were not authored directly
by
apostles shows that there were others in the early church to whom Christ also
gave
the
ability, through the work of the Holy Spirit, to write words that were God’s
own
words
and also therefore intended to be part of the canon. In these cases, the early
church
had the task of recognizing which writings had the characteristic of being
God’s own words (through human authors).
For
some books (at least Mark, Luke, and Acts, and perhaps Hebrews and Jude as
well),
the church had, at least in some areas, the personal testimony of some living
apostles
to affirm the absolute divine authority of these books. For example, Paul
would
have affirmed the authenticity of Luke and Acts, and Peter would have
affirmed
the authenticity of Mark as containing the gospel which he himself preached.
In
other cases, and in some geographical areas, the church simply had to decide
whether
it heard the voice of God himself speaking in the words of these writings. In
these
cases, the words of these books would have been self-attesting;
that is, the
words
would have borne witness to their own divine authorship as Christians read
them.
This seems to have been the case with Hebrews.
It
should not surprise us that the early church should have been able to recognize
Hebrews
and other writings, not written by apostles, as God’s very words. Had not
Jesus
said “My sheep hear my voice” (John 10:27)? It should not be thought impossible
or unlikely, therefore, that the early church would be able to use a
combination
of factors, including apostolic endorsement, consistency with the rest of
Scripture,
and the perception of a writing as “God-breathed” on the part of an
overwhelming
majority of believers, to decide that a writing was in fact God’s words
(through
a human author) and therefore worthy of inclusion in the canon.
Nor
should
it be
thought unlikely that the church would be able to use this process over a
period
of
time—as writings were circulated to various parts of the early church—and
finally
to
come to a completely correct decision, without excluding any writings that were
in
In A.D. 367
the Thirty-ninth Paschal Letter of Athanasius contained an exact list of
the
twenty-seven New Testament books we have today. This was the list of books
accepted
by the churches in the eastern part of the Mediterranean world. Thirty years
later,
in A.D.
397, the Council of Carthage, representing the churches in the western
part
of the Mediterranean world, agreed with the eastern churches on the same list.
These
are the earliest final lists of our present-day canon.
Should
we expect any more writings to be added to the canon? The opening
sentence
in Hebrews puts this question in the proper historical perspective, the
perspective
of the history of redemption: “In many and various ways God spoke of
old
to our fathers by the prophets; but in these last days he has spoken to us by a
Son,
whom
he appointed the heir of all things, through whom also he created the world”
(Heb. 1:1–2).
The
contrast between the former speaking “of old” by the prophets and the recent
speaking
“in these last days” suggests that God’s speech to us by his Son is the
culmination
of his speaking to mankind and is his greatest and final revelation to
mankind
in this period of redemptive history.
The
exceptional greatness of the
revelation
that comes through the Son, far exceeding any revelation in the old
covenant,
is emphasized again and again throughout chapters 1 and 2 of Hebrews.
These
facts all indicate that there is a finality to the revelation of God in Christ
and
that
once this revelation has been completed, no more is to be expected.
But
where do we learn about this revelation through Christ? The New Testament
writings
contain the final, authoritative, and sufficient interpretation of Christ’s
work
of
redemption. The apostles and their close companions report Christ’s words and
deeds
and interpret them with absolute divine authority. When they have finished
their
writing, there is no more to be added with the same absolute divine authority.
Thus,
once the writings of the New Testament apostles and their authorized
companions
are completed, we have in written form the final record of everything that
God
wants us to know about the life, death, and resurrection of Christ, and its
meaning
for the lives of believers for all time.
Since
this is God’s greatest revelation
for
mankind, no more is to be expected once this is complete. In this way, then,
Hebrews
1:1–2 shows us why no more writings can be added to the Bible after the
time
of the New Testament. The canon is now closed.
A
similar kind of consideration may be drawn from Revelation 22:18–19:
I warn every one who hears the words of the prophecy
of this book: if any one adds to them,
God will add to him the plagues described in this
book, and if any one takes away from the words of the book of this prophecy,
God will take away his share in the tree of life and in the
holy city, which are described in this book.
Aku bersaksi kepada setiap
orang yang mendengar perkataan-perkataan nubuat dari kitab ini: "Jika
seorang menambahkan sesuatu kepada perkataan-perkataan ini, maka Allah akan
menambahkan kepadanya malapetaka-malapetaka yang tertulis di dalam kitab ini.
Dan jikalau seorang
mengurangkan sesuatu dari perkataan-perkataan dari kitab nubuat ini, maka Allah
akan mengambil bagiannya dari pohon kehidupan dan dari kota kudus, seperti yang tertulis di dalam
kitab ini."
The
primary reference of these verses is clearly to the book of Revelation itself,
for
John refers to his writing as “the words of the prophecy of this book” in
verses 7
and
10 of this chapter (and the entire book is called a prophecy in Rev. 1:3).
Furthermore,
the reference to “the tree of life and...the holy city, which are described
in
this book” indicates that the book of Revelation itself is intended.
It
is, however, not accidental that this statement comes at the end of the last
chapter
of Revelation, and that Revelation is the last book in the New Testament. In
fact,
Revelation has to be placed last in the canon. For many books, their placement
in
the
assembling of the canon is of little consequence. But just as Genesis must be
placed
first (for it tells us of creation), so Revelation must be placed last (for its
focus
is to
tell us of the future and God’s new creation).
The
events described in Revelation
are
historically subsequent to the events described in the rest of the New
Testament
and
require that Revelation be placed where it is. Thus, it is not inappropriate
for us to
understand
this exceptionally strong warning at the end of Revelation as applying in a
secondary
way to the whole of Scripture. Placed here, where it must be placed, the
warning
forms an appropriate conclusion to the entire canon of Scripture. Along with
Hebrews
1:1–2 and the history-of-redemption perspective implicit in those verses, this
broader
application of Revelation 22:18–19 also suggests to us that we should expect
no more Scripture to be added beyond what we already have.
How
do we know, then, that we have the right books in the canon of Scripture we
now
possess? The question can be answered in two different ways. First, if we are
asking
upon what we should base our confidence, the answer must ultimately be that
our
confidence is based on the faithfulness of God. We know that God loves his
people,
and it is supremely important that God’s people have his own words, for they
are
our life (Deut. 32:47; Matt. 4:4). They are more precious, more important to us
than
anything else in this world. We also know that God our Father is in control of
all
history,
and he is not the kind of Father who will trick us or fail to be faithful to us
or
keep
from us something we absolutely need.
The
severity of the punishments in Revelation 22:18–19 that come to those who
add to
or take from God’s words also confirms the importance for God’s people of
having
a correct canon. There could be no greater punishments than these, for they are
the
punishments of eternal judgment. This shows that God himself places supreme
value
on our having a correct collection of God-breathed writings, no more and no
less.
In the light of this fact, could it be right for us to believe that God our
Father,
who
controls all history, would allow all of his church for almost two thousand
years
to be
deprived of something he himself values so highly and is so necessary for our
spiritual lives?
CATATAN:
Fokus utama dan intinya Alkitab itu bukan sejarah, tapi kesaksian Yesus Kristus.
Mengenai kasih,
kebenaran dan rencanaNya yang kekal. Dan kesaksian itu terus dibawa, pertama-tama oleh mereka yang merupakan
pelaku-pelaku langsung sejarah dari perbuatan-perbuatan Tuhan dalam
menyelamatkan umat manusia.
Proses Kanonisasi PB kita lihat tidak lebih tidak kurang
merupakan proses administrasi dan prosedur pembukuan. Yang terpenting ialah validasi yang dilakukan oleh mereka juga yang
menjadi saksi firman dan saksi yang telah menjadi manusia itu, Yesus, di
mana seluruh kepenuhan (dimensions) keallahan berdiam. Dimensi-dimensi roh inilah yang dibawa dalam misi Yesus,
ditawarkan dan diimpartasikan kepada orang-orang percaya.
Matius 11:28 Marilah kepada-Ku, semua yang letih
lesu dan berbeban berat, Aku akan memberi kelegaan kepadamu.
Yesus bukan menawarkan produk atau pekerjaan atau garansi
keselamatan sekali pun....
Dia menawarkan diriNya.... Kepada Ku. Tidak juga menawarkan
jabatan atau sorga. Ketika kita masuk kepada dimensi-dimensi itu....dan
mengenakannya seperti kuk..... kita akan melihat sebagaimana Dia melihat,
berpikir seperti Dia berpikir, berkata sebagai mana Ia berkata dan menerima apa
yang Dia berikan. Kita akan memiliki karakter yang serupa dengan Yesus.
Yohanes 14:9 Kata Yesus kepadanya: "Telah sekian lama
Aku bersama-sama kamu, Filipus, namun engkau tidak mengenal Aku? Barangsiapa
telah melihat Aku, ia telah melihat Bapa; bagaimana engkau berkata:
Tunjukkanlah Bapa itu kepada kami.
1 Yohanes 1:1-2 Apa
yang telah ada sejak semula, yang telah kami dengar, yang telah kami lihat dengan
mata kami, yang telah kami saksikan dan yang telah kami raba dengan tangan kami
tentang Firman hidup — itulah yang kami tuliskan kepada kamu.
TIDAK ADA KEBENARAN PALING
ABSOLUT DAN PALING SAHIH (VALID) DARIPADA ALKITAB, biar pun sebagian
orang meng-klaim "kebenaran yang lain" sebagai "kebenaran"
yang langsung diturunkan dari sorga dan ditulis dengan tangan Allah.
Loh batu (tablet) yang dituliskan oleh tangan Tuhan sendiri
pun harus ada saksinya, yaitu Musa, Yosua dan orang-orang Israel.
Hidup itu telah dinyatakan, dan kami telah melihatnya dan
sekarang kami bersaksi dan memberitakan kepada kamu tentang hidup kekal, yang
ada bersama-sama dengan Bapa dan yang telah dinyatakan kepada kami.
Kita harus mengenali apa yang dikatakan Firman bukan apa yang
kita baca atau lihat atau dengar secara natural.
Sebab Firman itu Roh dan spiritual, supaya kita beroleh
persekutuan dengan Dia yang hidup dan berkata-kata.
1 Yohanes 1:3 Apa
yang telah kami lihat dan yang telah kami dengar itu, kami beritakan kepada kamu
juga, supaya kamu pun beroleh persekutuan dengan kami. Dan persekutuan kami
adalah persekutuan dengan Bapa dan dengan Anak-Nya, Yesus Kristus.
Jangan seperti Filipus atau....
Lukas 15:29-32 Tetapi
ia menjawab ayahnya, katanya: Telah bertahun-tahun aku melayani bapa dan belum
pernah aku melanggar perintah bapa, tetapi kepadaku belum pernah bapa
memberikan seekor anak kambing untuk bersukacita dengan sahabat-sahabatku. Tetapi
baru saja datang anak bapa yang telah memboroskan harta kekayaan bapa
bersama-sama dengan pelacur-pelacur, maka bapa menyembelih anak lembu tambun
itu untuk dia. Kata ayahnya kepadanya: Anakku, engkau selalu bersama-sama
dengan aku, dan segala kepunyaanku adalah kepunyaanmu.Kita patut bersukacita
dan bergembira karena adikmu telah mati dan menjadi hidup kembali, ia telah
hilang dan didapat kembali."
Si sulung hidup di "dunia lain", betul-betul hanya
secara natural - dan kental dengan roh
agamawi - sehingga walaupun setiap hari bersama-sama dengannya bapanya -
tidak bisa mengenali karakter (dimensi) bapanya. Hati-hati sebagai para
pelayan, apakah kita masih mengenakan kuk si sulung itu? Bagaimana motivasi
kita? Mengharapkan pemberian dan berkat-berkat? Daud berkata dalam Maz23: I
shall not want. Beda dengan bahasa Indonesia: Takkan kekurangan aku.
Kanonisasi sudah
final. Done. Walaupun demikian kita diberikan kuasa dan keleluasaan yaitu Roh
Kudus yang melalui persekutuan denganNya kita bisa meng-unlock dan menerima
kuasa firman-Nya, sebab oleh Roh firman-Nya itu menjadi Pribadi yang hidup,
seperti yang Dia katakan Aku yang ada, yang sudah ada dan yang akan datang.